Jumat, 21 Agustus 2009

Semeru Biker Adventure Team

Hari I: 16 Agustus 2009

Pagi sehabis Shubuh aku sudah dijemput bos kantor untuk mengantar anaknya daftar kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang. Bos-ku menjabat bendahara MTsN sedang aku sendiri staffnya. Yang tiap hari selalu berkutat dengan angka-angka di depan laptop dengan aplikasi keuangan yang bermacam-macam. Jenuh dan pusing. Mulai pagi masuk kantor aku sudah stanby di depan laptop sampai jam kantor usai. Sehabis itu aku harus mengurus konter service HP dan komputer sampai jam 9 malam. Di kamar tidur pun selalu menumpuk pasien-pasien komputer. Kadang tertidurpun di depan layar komputer. Karena itu kesempatan bersama bos ke Malang tidak aku sia-sia kan. Aku ingin melepas penat dengan mengunjungi Ranupane, desa tertinggi di pulau Jawa dengan ketinggian 2200 mdpl, sekaligus merupakan pos pertama pendakian Gunung Semeru titik tertinggi Pulau Jawa (3.676 mdpl).

Segera aku persiapkan daypack yang sudah aku packing semalam. Yang pasti dibawa kamera SLR Nikon F70, 2 roll film, laptop dan beberapa pakaian ganti. Rencana 4 hari aku di Malang, jadi pengawal anaknya bos.

Berangkatlah kami menggunakan mobil Kijang, dengan tujuh orang penumpang. Sopir, si bos beserta istrinya, anak bos yang bungsu, anak bos yang sulung dan temannya juga aku sendiri. Awal perjalanan di daerah Kebonsari Madiun, dengan hamparan persawahan yang membentang kami disambut dengan sunrise yang begitu indah. Sinar matahari pagi, dengan rona kemerahan. Damai dan hangat dalam jiwa, mengisyaratkan sebuah semangat yang harus kita jalani dalam hidup dengan penuh keberanian. Memberikan segala bentuk keindahan kepada semua, seperti sinar matahari pagi ini. Tak ingin kehilangan momen, aku minta supir untuk menghentikan mobil sejenak. Aku keluarkan kameraku mengabadikan keindahan itu.

Matahari menyampaikan keajaiban cahaya
Di angkasa di bumi dan diantaranya
Sebutlah semua cuaca dan warna
Sebutlah Yaa Nuur, Yang Maha Pemberi Cahaya
(Taufik Ismail).

Perjalanan dilanjutkan kembali dengan rute Ponorogo – Madiun – Nganjuk – Jombang – Kediri – Batu – Malang. Sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan khas suasana Agustusan. Bendera merah putih, umbul-umbul beraneka warna dan berbagai macam kegiatan lomba. Yang paling banyak adalah kegiatan jalan santai. Berkali-kali kami harus berjalan pelan bahkan berhenti karena berpapasan dengan orang-orang yang mengikuti kegiatan jalan santai. Hari ini Minggu, hari yang sangat tepat untuk melaksanakan kegiatan Agustusan, selain karena sudah mendekati bulan Puasa.

Sekitar jam 10 an kami sampai di rumah bibi, di daerah Jetis dekat kampus UMM. Setelah beramah tamah sebentar, bos mengutarakan maksudnya untuk menitipkan anak dan temen anaknya sementara di kos-kosan punya bibi. Anak bos dan temennya menempati salah satu kamar di lantai dua yang kebetulan kosong dan sudah dipersiapkan jauh hari. Memang aku sudah memberitahu bibi sebelumnya kalau bos mau menitipkan anaknya. Sedangkan aku sendiri, langsung menemui saudara sepupuku Vais, sudah lama kami tidak pernah bertemu. Aku pun langsung mengutarakan niatku untuk main ke Ranupane dan aku ingin Vais yang mengantar. Menggunakan sepeda motor. Vais langsung setuju, karena dia juga seneng main. Dia masih kuliah semester akhir di Politeknik Negeri Malang. Setelah makan siang, bos dan anggota keluarga yang lain pulang ke Ponorogo.

Aku kembali merasakan suasana di kos-kosan, sedikit meracuni anak bos dan temennya dengan gaya hidup mahasiswa di perantauan. Tidak jauh dari acara ngopi dan nongkrong. Sore, Vais keluar bawa kameraku katanya mau hunting foto. Dia juga seneng sama fotografi. Vais beli lagi satu roll film. Malamnya kami berampat jalan-jalan di kampus UMM sambil eksperimen mengambil foto di malam hari dengan pencahayaan minim tanpa menggunakan flash light. Setelah itu seperti biasa, ngopi di depan kampus UMM menikmati suasana kampus.

Hari II: 17 Agustus 2009

“Selamat pagi Indonesia. Dirgahayu negeriku, semoga aku bisa berkarya lebih baik mempersembahkan keindahan untukmu.”

Total tidak ada kegiatan sama sekali hari ini. Ingin merasakan sedikit ‘kemerdekaan’. Bangun tidur langsung nongkrong di teras kosan lantai dua. Menikmati pemandangan dari ketinggian. Pengen ambil foto, tapi cuaca tidak mendukung. Malang selalu diselimuti kabut pada pagi hari. Aku benar-benar ingin istirahat. Merebahkan semua jalinan hidup ini dalam takdir-Nya.

Malamnya kami jalan-jalan ke toko kamera di Malang. Melihat harga kamera. Aku ingin sekali kamera Digital SLR. Niatnya mau beli Canon EOS 450D, tapi setelah survey Vais nyaranin beli Nikon D40. Selain lebih murah, body kamera ini lebih kecil, simpel untuk dibawa jalan. Juga mempunyai kemampuan sinkronisasi flash light 1/500 detik, satu-satunya kamera SLR di dunia yang mempunyai kemampuan itu. Harganya 5,1 jt. Semoga aku bisa membelinya suatu saat nanti. Sebelum beranjak, aku sempatkan beli 1 roll film lagi. Total 4 roll film aku bawa.

Habis itu Vais ngajak kami ke daerah Batu sambil test drive scooter tua yang mau kami bawa ke Ranupane. Ternyata, scooternya ngadat kalau putaran mesin dalam rpm tinggi. Aku bingung, besok naik apa ke Ranupane. Soalnya motor bibi dipakai kerja besok pagi. Tapi aku harus sampe Ranupane, entah bagaimana caranya. Berbagai alternatif kami uji satu persatu. Dari pinjem motor temen sampe nyewa motor. Kalaupun itu tidak bisa, aku nekat mau naik angkot aja ke Tumpang terus naik jeep ke Ranupanenya. Tapi, apa ada jeep yang naik, karena ini waktunya pendaki-pendaki turun habis mengikuti upacara 17-an.

Ah, gimana besok aja. Daripada pusing mikirin itu, aku buka laptop pasangin modem. Chating sama temen deket yang sekarang berada di Kalimantan. Aku curhat masalah aku mau naik ke Ranupane dan tidak ada motor. Dia malah marahin aku, ingetin kalo aku punya temen di Malang. Temen SMA yang seorang pendaki gunung juga dan seorang fotografer. Kembali mendapat pencerahan, langsung telpon temenku itu. Namanya Bani. Basa-basi sedikit kemudian ngomong pinjem motor buat ke Ranupane. Tapi Bani bilang, motornya tidak terawat sama sekali dan sistem kelistrikannya mati total. Aku suruh lihat sendiri kalau mau bawa. Rencana besok paginya aku ke rumah Bani, sekalian menjenguk karena waktu nikahannya kemarin aku gak bisa datang. Istrinya temenku juga, dari SMP sampe SMA.

Aku terusin beraktifitas dengan YM dan FB. Mbak ku di Ponorogo juga sedang online. Kalau aku butuh kendaraan dia bisa telpon temennya di Malang. Dia dulu kuliah di UMM juga, Fakultas Psikologi. Tapi aku sudah janji sama Bani, tawaran Mbak ku aku jadiin plan B. Seandainya motor Bani memang tidak layak jalan.

Terima kasih Tuhan telah Kau berikan kemudahan-kemudahan. Terima kasih teman dan Mbak. Kalian baik banget. Semoga aku juga bisa memberi kebaikan kepada semua orang. Bukan untuk mengharap apa-apa. Tapi aku yakin Tuhan akan membalas semua kebaikan, entah dimana, kapan, bagaimana dan dari siapa.

Hari III: 18 Agustus 2009

Rencananya pagi-pagi aku ke rumah Bani, tapi Vais kalau sudah tidur sulit dibangunin. Dan anaknya lelet banget tidak sigap. Tapi asik dan gila. Vais bangun jam 10-an, setelah mandi dan beraktifitas memulai hari; ngopi dan merokok di teras kos-kosan; kami berangkat ke rumah Bani di Perumahan Bukit Cemara Tidar. Sebuah perumahan di daerah perbukitan.

Kesan pertama untuk Bani waktu aku sampai dirumahnya, salut!! Ruang tamu dihiasi beberapa buah foto pre wedding hasil karyanya. Dicetak dalam ukuran raksasa. Bersenjatakan Canon EOS 350D, dengan 3 buah lensa, seharga total 15 juta. Bani temenku SMA, dulu ikutan Pencinta Alam SMA. Dari dulu dia sudah hoby fotografi, sekarang dia sudah menjadikan hoby nya menjadi ladang nafkah. Tapi dia masih low profie dengan gaya pakaiannya. Celana PDL kaos oblong dengan aksesoris kalung dan gelang-gelang. Khas petualang. Tidak ada yang berubah, walau dia sudah menikah sekarang. Masuk ke ruang keluarga, foto-foto istrinya juga dipajang. Dicetak dalam ukuran raksasa, surely its beautifull woman. Semoga pernikahan kalian diberkahi Tuhan Yang Maha Rahim.

Karena tidak punya banyak waktu, segera aku test motor bebek Honda Grand yang sudah bulukan tidak terawat. Nyala dan bisa jalan, itu yang penting. Aku sama Vais berencana ke Poncokusumo dulu, ganti motor dengan yang lebih layak untuk ke Ranupane. Sambil ambil foto Puncak Semeru, dari arah barat.

Tidak menunggu waktu lama, kami segera berangkat ke Poncokusumo. Menyusuri jalanan kota Malang menggunakan motor yang alhamdulillah bisa jalan. Walau dengan terseok-seok. Dalam perjalanan masih banyak kegiatan-kegiatan Agustusan. Gerak jalan dan berbagai macam lomba. Aku sempatkan untuk mengambil foto. Masuk daerah Tumpang sudah tengah hari, dua buah jeep yang biasa dipake mengantar pendaki Semeru ke Ranupane tampak berjajar di bawah pohon beringin besar. Pertigaan kami terus, yang belok ke kiri menuju Ranupane. Sampe di Poncokusumo kami singgah di tempat saudara, silaturahmi dan istirahat sebentar. Bertemu Mas Riza untuk pinjem motor. Selain kasih pinjem Mas Riza juga nawarin nganter bersama temennya Mas Munir. Jadinya kami berempat berangkat, aku sama Vaiz boncengan naik GL Pro, Mas Munir pake Jupiter MX dan Mas Riza sendiri pake trail. Sebenarnya ditawarin menggunakan jeep kalo mau ke Ranupane, tapi aku tolak. Dihitung-hitung boros dan ingin merasakan sensasi yang lain.

Rencana untuk mengabadikan puncak Mahameru dari sisi barat urung aku lakukan. Cuaca tidak mendukung. Mendung total menutupi puncak Mahameru. Padahal kata Vais dari sini kalau cerah kerucut Mahameru terlihat sempurna. Tapi adventure must go on. Tetap pada rencana semula, mencapai Ranupane pos pertama pendakian Semeru sekaligus desa tertinggi di Pulau Jawa.

Jalur pertama adalah Poncokusumo – Drigu. Jalan masih aspal halus, melewati perkampungan yang damai. Sungai Amprong yang berair deras dan jernih yang mata airnya berasal dari Pegunungan Semeru menambah kenikmatan perjalanan. Kemampuan mengendalikan motor belum terlalu diuji disini. Di perkampungan mampir sebentar di warung beli sedikit logistik. Beberapa bungkus roti, air mineral dan yang tak pernah lupa Gudang Garam Internasional.
Perjalanan selanjutnya masih melewati aspal yang halus, kanan dan kiri perkebunan apel dan sayuran. Berhenti sebentar mengabadikan kegiatan para petani yang mengurus kebunnya. Cuaca masih berkabut, puncak Mahameru masih belum kelihatan. Masuk Gubug Klakah, jalanan sudah mulai sulit. Aspal sudah rusak disana sini, perlu konsentrasi ekstra menghindari ranjau-ranjau jalanan. Mulai masuk lebatnya hutan tropis. Sekitar setengah jam kami sampai di gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Istirahat sebentar, karena motor trail hasil modifan dari Honda Win mesinnya panas. Mungkin karena mesinnya sudah tidak standar lagi, hasil kanibalan dari sparepart berbagai jenis motor. Di sisi kanan lembah yang curam memberi keindahan yang tiada tara. Sungai yang berkelok kelok mengalir jernih. Seperti biasa, keluarkan kamera abadikan pemandangan itu. Sedikit memaksa, karena lensa yang aku pake cuma memeliki focal length maksimal 70 mm. Tidak sanggup mencapai dengan sempurna aliran jernih sungai itu. Hawa dingin mulai menusuk, mengisi perut sebentar dengan beberapa potong roti dan menyalakan rokok. Sejenak berkontemplasi, merasakan damainya hijau hutan yang lebat ini.

Sudah cukup istirahat, kami lanjutkan perjalanan menyusuri jalan yang sebenarnya sudah di paving dan cor beton. Tapi sudah rusak disana-sini. Tiap hari dilalui jeep dan truk pengangkut sayuran dari Ranupane. Hasil bumi yang hasil sentuhan suku Tengger yang memang sangar terkenal ketekunannya dalam bekerja. Melewati jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok di tambah tekstur jalanan yang tidak bersahabat membutuhkan keahlian ekstra dalam mengendalikan motor. Cuaca mulai bersahabat, ketika kami memasuki desa Ngadas. Sebuah perkampungan yang tertata rapi di sebuah alur punggung pegunungan. Sepertinya damai tinggal disana, tidak ada kebisingan dan rasa saling curiga. Semua hidup damai dan rukun. Bayangkan ketika malam tiba, dengan jelas bisa melihat pemandangan dari ketinggian. Sebuah rencana, aku ingin tinggal beberapa hari disana. Mempelajari kehidupan suku Tengger sehari-hari.

Mendung sudah tersibak. Sisi kiri jalan terlihat jelas puncak Mahameru, tak ingin mendung datang lagi. Abadikan gagahnya puncak Mahameru. Menjelajahkan pandangan mencari obyek yang bisa aku abadikan. Sebuah Vihara tempat peribadatan penduduk suku Tengger yang menganut Budha. Sekedar diketahui, ada tiga keyakinan yang dianut penduduk suku Tengger, Hindu, Budha dan Islam. Mengambil angle yang paling bagus aku bidik Vihara itu. Sudah cukup aku mengambil gambar, sekilas aku lihat taman bunga didekat Vihara. Aku tergoda mengabadikan bunga-bunga dengan beraneka warna. Salah satu bunga itu ada yang berwarna ungu gelap. Sebuah warna yang cantik namun misterius. “Realy, I miss that purple.”

Continue the journey. Jalanan semakin parah, paving yang rusak disana-sini dengan tanjakan curam. Sempit tanpa penghalang diapit jurang di kanan kirinya. Salah perhitungan mengendalikan motor bisa terperosok dalam jurang yang sangat dalam. Keindahan pemandangan dan tegangnya sebuah perjalanan bercampur menjadi satu. Cuaca masih cerah dengan langit biru yang terhampar luas. Bukti keagungan Tuhan yang tak terperi. "Terima kasih Yaa Malik, telah Kau-kuasakan alam untuk meresapi ayat-Mu."

Sampai di pertigaan Jemplang, kami istirahat lagi. Menikmati pemandangan lautan pasir kaldera Bromo. Begitu luas, menggoda para petualang bersepeda motor untuk menikmati sensasi dan ketegangan melibas pasir yang terhampar dimana-mana. Sejauh mata memandang yang ada hanya pasir dan pasir. Selain terkenal dengan pasirnya, lautan pasir Bromo juga terkenal dengan kabut tebalnya yang putih bak susu. Sempat kami menjadi saksi kabut tebal lautan pasir Bromo yang berarak berjalan pelan menutupi jarak pandang. Pertigaan Jemplang adalah persimpangan menuju Bromo dan Ranupane. Jalur ke kiri menuju Bromo sedang ke kanan menuju Ranupane. Tetap pada rencana semula kami melanjutkan perjalanan ke Ranupane, menahan keinginan menikmati pasir gunung Bromo. Setidaknya saat ini, suatu hari pasti aku akan melengkapi petualangan ini dengan menyusuri lautan pasir Bromo. Dengan sepeda motor tentunya.

Petualangan masih belum berakhir, justru semakin berat. Diibaratkan jeram sungai, ini sudah mencapai grade IV. Paving dan beton bukan saja rusak, tapi benar-benar sudah terkelupas. Hanya tersisa tanah dan debu yang tebal. Perjuangan mengendalikan motor semakin berat. Kadang aku harus turun dari boncengan Vais, karena motor sudah tidak sanggup lagi melahap tanjakan yang curam dan medan yang berdebu. Trek kering, menurut istilah para penggila off road. Mas Riza yang pakai trail terlihat lincah mengendalikan motornya. Selain motor yang sangat mendukung dia juga sudah hafal medannya. Sedang kami harus berjuang keras, melibas jalan yang sempit diapit jurang menggunakan motor yang lebih cocok untuk menyusuri kota. Namun bukan Vaiz namanya kalau menyerah, bahkan sambil tertawa kami menikmati ketegangan ini. Dua orang gila menaiki motor menuju Ranupane, diantar dua orang yang ternyata lebih gila. Yang membedakan mereka sudah terbiasa dengan kegilaan ini.

Sudah mulai mendekati Ranupane, namun jalur masih tidak bersahabat. Kabut tipis mulai mengurangi jarak pandak. Namun kami harus terus memacu sepeda motor, sampai di Ranupane sebelum matahari tenggelam. Karena motor trail yang diapakai Mas Riza tidak ada lampunya. Sempat kami bersimpangan dengan crew SCTV yang kemarin siaran langsung upacara 17 Agustus di puncak Mahameru. Mereka menggunakan kendaraan four wheel drive Land Rover dan Jeep CJ-7. Beberapa kali kami juga bersimpangan dengan beberapa tim pendaki yang turun dari Ranupani menggunakan Jeep yang memang sudah disediakan. Aku juga tidak terlewatkan mengabadikan momen ini. Ada banyak kerinduan menaiki jeep itu, bersama teman-teman mendaki Puncak Mahameru.

Matahari sudah tidak kelihatan, ketika kami mulai memasuki desa Ranupane. Hawa dingin semakin menusuk tulang. Justru semakin menambah keindahan senja ini, di sebuah desa yang diapit pegunungan. Penduduk suku Tengger terlihat kembali ke rumahnya masing-masing, setelah seharian bekerja di kebun sayur dan buah-buahan. Penduduk Tengger yang khas dengan gaya pakaiannya, selalu mengalungi sarung kemanapun mereka pergi. Baik itu lelaki maupun perempuan. Dari mulai anak kecil sampai orang tua. Sebuah kebudayaan yang masih terjaga, seperti hutan di sekitar Ranupane yang masih terawat. Semoga saja tidak ada investor yang masuk ke Ranupane. Agar alam dan kebudayaan mereka tetap terjaga. Biarlah selalu tercipta kerinduan bagi para penggiat kegiatan alam bebas seperti kami untuk selalu mengunjungi tempat ini.

Tempat persinggahan pertama di Ranupane adalah sebuah danau kecil. Disini Mas Riza minta di foto bergaya sengan motor trailnya. Menikmati sejenak sebuah keberhasilan petualangan. Beberapa pasang angsa tampak berenang di danau, tapi sayang jaraknya tidak dapat dijangkau oleh lensa kameraku. Dipaksapun tidak bisa menemukan angle yang tepat. Komposisi yang kurang sempurna untuk sebuah foto. Cukup aku menikmati beberapa pasang angsa itu yang berenang kesana kemari. Sepertinya mereka sedang menikmati indahnya sebuah percintaan, dengan saling memamerkan kelebihannya masing-masing. Sang jantan dengan gaya khasnya sering mencuri pandang ke arah sang betina, sedang sang betina sendiri seperti tertunduk malu tak kuasa menahan cinta yang menggelora.

Persinggahan kedua, adalah Pos Pendakian Gunung Semeru. Tidak begitu jauh dari danau Ranupane. Para pendaki banyak yang melihat kedatangan kami, hampir semua tidak melepaskan pandangan ke arah kami. Mungkin di benak mereka, kami adalah orang-orang yang lebih gila dari mereka. Ada tiga buah jeep yang parkir disitu. Siap mengantar para pendaki turun menuju ke Tumpang, kota kecamatan dimana transportasinya sudah bisa diakses menggunakan angkot dari dan ke kota Malang. Untuk oleh-oleh dari sini, cukup aku mengabadikan aktifitas para pendaki disana, setelah mereka menyelesaiakan sebuah perjalanan panjang dan melelahkan mendaki Puncak Mahameru.

Masih seperti dulu, ketika delapan tahun yang lalu aku dan kawan-kawan pendiri Caldera menginjakkan kaki di tempat ini. Suasana yang kental dengan kekeluargaan terlihat jelas diantara para pendaki yang mungkin baru kenal disini. Dari pihak TNBTS sendiri telah menyiapkan kepanitiaan khusus dalam rangka upacara Kemerdekaan RI yang ke-64. Mereka sibuk mencatat pendaki-pendaki yang telah turun. Kemudian menyiapkan jeep yang mengantar para pendaki turun ke Tumpang. Masih ada beberapa pendaki yang baru saja sampai disini. Terlihat letih dan kumal menyandang karier yang tingginya melebihi kepala. Disambut dengan segelas kopi susu hangat yang telah disiapkan oleh rekannya yang terlebih dahulu sampai di Ranupane.

Selamat ulang tahun Caldera, sudah satu windu sudah kita bersama memberi warna baru sebuah petualangan. Sebuah petualangan yang bukan hanya untuk sebuah mencari sebuah kebanggaan, tapi lebih pada sebuah pencarian makna hidup dan bagaimana kita menjalani hidup seharusnya. Selalu memberikan keindahan kepada semua orang dan pantang menyerah menghadapi persoalan sepelik apapun. Ikhlas menerima semua takdir Tuhan, baik maupun buruk. Kita harus yakin bahwa semua rencana Tuhan adalah untuk kebaikan, walau yang kita rasakan adalah kepedihan dan luka. Dan semoga perjalanan gila yang kami lakukan ini turut memberi sebuah warna baru bagi kita.

Sebuah catatan, mungkin perjalanan ini jauh dari prinsip safety procedure yang selama ini aku pegang dan aku tekankan kepada teman-teman sesama penggiat kegiatan alam bebas. Untuk itu aku ingin mengulangi lagi petualangan ini dengan persiapan yang matang. Memulai perjalanan dengan sepeda motor yang benar-benar layak, singgah di Ranupane. Kemudian melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki, melakukan pendakian menuju Puncak Mahameru. Kemudian petualangan diakhiri dengan menyusuri lautan pasir Gunung Bromo menggunakan sepeda motor lagi.

Sudah cukup kami menikmati suasana di Ranupane, kami pun bergegas untuk turun. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam, matahari sudah tidak terlihat lagi dan gelap mulai datang. Ganti posisi, Mas Riza mengendarai GL Max berdua dengan Vais, Mas Munir mengendarai trail dan aku sendiri mengendarai Jupiter MX. Karena trail tidak berlampu maka Mas Riza berada di depan menjadi penunjuk jalan disusul trail yang dikendarai dan aku berada paling belakang memberi penerangan.

Perjalanan turun lebih mudah karena kita tidak perlu memaksa kekuatan mesin motor. Tapi bukan berarti ketegangan berakhir. Justru disinilah sebuah extreme journey sebenarnya. Membelah malam melewati jalur yang sangat tidak bersahabat. Ditambah kabut yang berarak semakin tebal membawa hawa dingin yang semakin menggila. Kami harus ekstra hati-hati mengendalikan motor, karena salah sedikit maka jurang-jurang yang menganga telah menunggu kami. Semakin mencekam ketika kita melewati jalur antara Jemplang – Ngadas. Hutan lebat dengan pepohonan besar yang menjulang tinggi menjadi saksi petualangan gila kami. Kami semua terdiam, tidak seperti waktu perjalanan naik yang dipenuhi dengan canda tawa. Selain karena harus berkonsentrasi, sepertinya gelapnya malam yang misterius ini turut berperan dalam terdiamnya kami.

Perasaan kami sedikit lega ketika sudah melewati Gubuk Klakah. Hutan berganti dengan perkebunan dan langit malam cerah berhiaskan bintang. Motor bisa dipacu lebih kencang karena jalanan juga sedah berganti dengan aspal halus. Tanpa acara istirahat lagi kami terus memacu motor kembali ke Poncokusumo. Melewati perkampungan di desa Drigu kemudian hutan bambu setelah jembatan sungai Amprong. Setelah itu masuk ke daerah perkebunan Poncokusumo, sudah dekat dengan rumah Mas Riza.

Jam setengah delapan malam kami sampai di rumah Mas Riza, disambut dengan makan malam sate ayam dan sebakul nasi yang sangat nikmat. Disajikan dengan bumbu kekeluargaan oleh keluarga Mas Riza. Setelah makan Mas Riza mandi karena badan sudah dipenuhi debu, tapi aku dan Vais enggan menyentuh air untuk mandi. Aku cukup membasuh muka, kaki dan tangan. Tidak tahan dengan air yang sangat dingin. Setelah itu kami berbincang-bincang menikmati kopi dan rokok. Mas Riza menawarkan mengantarkan kami ke Ranupane lagi kalau kami merencanakan mendaki Puncak Mahameru. Bukan hanya menggunakan motor lagi, Mas Riza siap mengantar menggunakan jeep jika kami membawa banyak teman. Sebuah hasil petualangan yang sangat berharga. Menambah teman dan persaudaraan juga sebuah tawaran yang sangat menggiurkan. Aku berjanji main ke tempat Mas Riza lagi, tentu dengan waktu yang lebih panjang tentunya agar bisa menjelajah pegunungan Semeru sepuasnya.

Sesudah habis lelah dan penat, aku dan Vais berpamitan pulang kembali ke kota Malang, walau Mas Riza melarangnya. Mas Riza menyuruh kami menginap agar bisa menikmati pemandangan Puncak Mahameru dari sisi sebelah barat keesokan paginya. Tapi kami harus pulang, motor harus dikembalikan ke Bani dan besok aku harus pulang lagi ke Ponorogo. Merayakan cinta dengan istri dan kedua anakku; Sylva Rinjani Masrura dan Rimba Mahameru Masrura. Selalu ada rindu untuk mereka dimanapun aku berada.

Etape terakhir petualangan kami masih harus ditutup dengan sebuah perjalanan yang extreme. Menyusuri jalanan di malam hari, dengan motor yang tidak berlampu dari Poncokusumo ke Malang. Tepat jam sembilan aku dan Vais memulai perjalanan pulang menggunakan sepeda motor Bani yang sudah seharusnya dimuseumkan. Jika lampu jalanan tidak ada, aku menyalakan senter HP. Bukan untuk memberi penerangan, tapi lebih menjadi sebuah tanda untuk kendaraan lain bahwa ada kami yang sedang berkendara menggunakan motor tanpa lampu. Jam sepuluhan kami sampai di depan kampus Unbraw, istirahat di sebuah warung kopi di pinggir jalan. Menikmati suasana malam di kampus yang sudah lama tidak aku rasakan lagi.

2 komentar: